About

Kamis, 07 Maret 2013

SERASI ITU INDAH



Keindahan Islam sebagai agama dan jalan keselamatan dapat dilihat dari ajarannya yang mencakup segala aspek kehidupan. Begitu pula dalam memposisikan laki-laki dan perempuan. Dalam Islam laki-laki dan perempuan tidak dipandang sebagai individu yang terpisah, persial dan dipertentangkan antara satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda, baik sebagai anak, istri/suami, maupun orang tua. Hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dibangun berdasarkan prinsip-prinsip keserasian yang saling menopang antara satu dan lainnya. Semuanya tertata begitu indah mengesankan.
Pemberian tanggung jawab kepada laki-laki menjadi pemimpin rumah tangga, tidak kemudian memberikan otoritas mutlak kepada laki-laki untuk berbuat seperti tuan kepada budaknya. Pemimpin tidak saja memberi contoh, tetapi juga menjadi contoh bagi seisi rumah. Pemimpin adalah penopang, pelindung, dan penanggung jawab atas keberhasilan semua anggota dalam meraih predikat taqwa. Oleh karena itu, seorang pemimpin dituntut untuk tidak mudah terpancing emosi dan bersifat tempramen.
Tapi apa yang akan terjadi bila “keserasian dalam Islam” digugat demi untuk adanya “kesetaraan gender”, dimana segala aspek kehidupan harus adil dan tanpa mendiskriminasikan kaum perempuan. Keserasian yang terdapat dan telah tertata begitu indah akan hancur. Bagaimana tidak, jika kita melihat dari apa yang tertera dalam Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) yang sangat meresahkan umat beragama, khususnya kaum muslimin. Berbagai pasal-pasal kontroversial yang dibuat semata-mata hanya mewakili kepentingan segelintir elit feminis. RUU KKG ini cenderung menyinggung seksualitas dan menyimpan semangat dekonstruktif terhadap nilai-nilai agama dan tatanan sosial yang ada. Namun demikian, menolak RUU KKG ini bukan berarti membenarkan patriarkisisme atau bersikap acuh terhadap fenomena kekerasan yang menimpa perempuan. Tetapi penolakan RUU KKG ini lebih didasari pada karakteristiknya yang terlalu memaksakan ideologi jenis kelamin sebagai landasan hidup bagi semua warga negara RI.
Konsep Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah bentuk pemaksaan secara sistematik kepada setiap warga negara untuk menerima gender sebagai “asa tunggal” pembangunan bangsa. Bahkan pejabat instansi dan lembaga-lembaga pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah yang tidak melaksanakan PUG yang menjadi tanggung jawabnya, akan dikenai sanksi administratif tindakan disiplin. Pemaksaan berbasis gender secara jelas diatur dalam Bab III, pasal 4 ayat (2) yang berbunyi: “selain berhak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30% dalam keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik, dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional, dan internasional”. Ayat ini selain diskriminatif, juga merusak nilai-nilai demokrasi yang bebas, langsung , dan rahasia. Pencantuman besarnya 30% sebagai porsi minimal keterwakilan prempuan semakin menunjukan ketakutan kaum feminis bersaing secara terbuka di dalam demokrasi, menguatkan stigma perempuan sebagai makhluk lemah dan meminta belas kasihan. Selain itu juga terdapat pasal yang mengatur larangan dan ketentuan pidana bagi siapa saja yang memiliki unsur pembedaan atas dasar jenis kelamin tertentu.
Dan masih banyak lagi pasal kontroversial dalam RUU KKG ini, seperti jelas terlihat bahwa konsep ini sangat bertentangan dengan ajaran umat beragama. Dan jika kita sepakat bahwa kitab semua kitab suci adalah Karya Tuhan, berarti tak lama lagi di Indonesia kekuasaan-Nya kian dipertanyakan. Bahkan pengikut-Nya bisa dipidanakan karena melanggar UU Kesetaraan dan Keadilan Gender. Itu jika komisi VIII DPR RI nekad mengesahkan RUU KKG.
Keadilan Tuhan seperti yang termaktub dalam lembaran-lembaran kitab suci dianggap tidak lagi setara untuk laki-laki dan perempuan, alias bias gender! Apalagi Bab VIII pasal 67 RUU KKG secara tegas menyebutkan: “setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur perbedaan, pembatasan, dan/pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu”. Karena Tuhan tidak termasuk dalam kategori “setiap orang”, maka sebagai gantinya adalah semua orang yang mengikuti ajaran Tuhan. Maka siapa saja yang melaksanakan ketentuan Tuhan dalam masalah waris, aqiqah, kesaksian, melarang perempuan menjadi khatib jum’at, wali nikah, imam sholat bagi kaum laki-laki, dan melarang nikah beda agama maupun sesama jenis berarti telah melanggar Bab VIII pasal 67.
UU gender juga menyatakan bahwa kitab bibel tidak adil, seperti contoh: “aku tdak mengizinkan perempuan mengajar dan tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiri diam”. (I Timotius 2:12). Begitupun dalam Kitab Suci Al-Quran yang berbunyi: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan). Lalu apakah dengan banyaknya ketidaksesusaian dengan RUU ini, teks-teks kitab suci harus dirombak? Ataukah DPR RI dan Menneg PP akan mempromotori proyek pembuatan tafsir kitab suci versi baru yang sehaluan dengan RUU ini? kita tunggu bagaiman akal kolektif anggota dewan menghadang wahyu Tuhan. Maka seharusnya UU gender ini tidak harus dibuat, karena melenceng dari perlindungan gender yang hanya mengutamakan keeksistensian perempuan di ranah publik.
 Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan merupakan dasar ajaran Islam, sebab pada prinsipnya segala perintah dan larangan Allah (Taklif) ditujukan kepada laki-laki dan perempuan. Taklif ini bersifat umum dan mutlak, sampai ada nash khusus lainnya yang mengecualikannya secara jelas. Imam Ibn Rusydi yang hidup di Cordova (595 H/1198 M) pun dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menjelaskan: “Laki-laki dan perempuan itu setara, karena pada awalnya hukum keduanya adalah satu, sampai ditetapkannya pengecualian syar’i yang yang menjelaskan hal itu”. Ibn Hajar al-‘Asqalani (852 H) juga menjelaskan dalam kitab Fathul Bari bahwa wanita itu adalah saudara kandung (setara) laki-laki dalam hukum, kecuali jika ada pengkhususan.
Serasi itu indah meski tidak sama. Sebab keserasian tidak pernah menuntut kesamaan dan persamaan. Keserasian menggambarkan keharmonisan, kesepadanan, keselarasan, dan kesesuaian. Keserasian menghasilkan keterpaduan yang utuh dan hubungan baik yang melahirkan ketentraman lahir batin. Jauh dari perasaan iri hati dan ambisi untuk merebut apa yang dimiliki orang lain. Keserasian adalah buah dari keberagaman dan perbedaan. Masing-masing individu menempatkan dirinya dan berperan sesuai kapasitasnya. Sebaliknya istilah “kesetaraan gender” sering diekspresikan sebagai bentuk ketidakpuasan untuk menuntut kesamaan peran dan kedudukan.


0 komentar:

Posting Komentar