Keindahan
Islam sebagai agama dan jalan keselamatan dapat dilihat dari ajarannya yang mencakup segala aspek kehidupan.
Begitu pula dalam memposisikan laki-laki dan perempuan. Dalam Islam laki-laki
dan perempuan tidak dipandang sebagai individu yang terpisah, persial dan
dipertentangkan antara satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hak dan
kewajiban yang berbeda, baik sebagai anak, istri/suami, maupun orang tua.
Hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dibangun berdasarkan prinsip-prinsip
keserasian yang saling menopang antara satu dan lainnya. Semuanya tertata
begitu indah mengesankan.
Pemberian tanggung jawab kepada laki-laki menjadi
pemimpin rumah tangga, tidak kemudian memberikan otoritas mutlak kepada
laki-laki untuk berbuat seperti tuan kepada budaknya. Pemimpin tidak saja
memberi contoh, tetapi juga menjadi contoh bagi seisi rumah. Pemimpin adalah
penopang, pelindung, dan penanggung jawab atas keberhasilan semua anggota dalam
meraih predikat taqwa. Oleh karena itu, seorang pemimpin dituntut untuk tidak
mudah terpancing emosi dan bersifat tempramen.
Tapi apa yang akan terjadi bila “keserasian dalam Islam”
digugat demi untuk adanya “kesetaraan gender”, dimana segala aspek kehidupan
harus adil dan tanpa mendiskriminasikan kaum perempuan. Keserasian yang
terdapat dan telah tertata begitu indah akan hancur. Bagaimana tidak, jika kita
melihat dari apa yang tertera dalam Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan
Keadilan Gender (RUU KKG) yang sangat meresahkan umat beragama, khususnya kaum
muslimin. Berbagai pasal-pasal kontroversial yang dibuat semata-mata hanya
mewakili kepentingan segelintir elit feminis. RUU KKG ini cenderung menyinggung
seksualitas dan menyimpan semangat dekonstruktif terhadap nilai-nilai agama dan
tatanan sosial yang ada. Namun demikian, menolak RUU KKG ini bukan berarti
membenarkan patriarkisisme atau bersikap acuh terhadap fenomena kekerasan yang
menimpa perempuan. Tetapi penolakan RUU KKG ini lebih didasari pada
karakteristiknya yang terlalu memaksakan ideologi jenis kelamin sebagai
landasan hidup bagi semua warga negara RI.
Konsep Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah bentuk
pemaksaan secara sistematik kepada setiap warga negara untuk menerima gender
sebagai “asa tunggal” pembangunan bangsa. Bahkan pejabat instansi dan lembaga-lembaga
pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah yang tidak melaksanakan PUG
yang menjadi tanggung jawabnya, akan dikenai sanksi administratif tindakan
disiplin. Pemaksaan berbasis gender secara jelas diatur dalam Bab III, pasal 4
ayat (2) yang berbunyi: “selain berhak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30% dalam
keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga
pemerintahan non-kementerian, lembaga politik, dan lembaga non-pemerintah,
lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional, dan internasional”.
Ayat ini selain diskriminatif, juga merusak nilai-nilai demokrasi yang bebas,
langsung , dan rahasia. Pencantuman besarnya 30% sebagai porsi minimal
keterwakilan prempuan semakin menunjukan ketakutan kaum feminis bersaing secara
terbuka di dalam demokrasi, menguatkan stigma perempuan sebagai makhluk lemah
dan meminta belas kasihan. Selain itu juga terdapat pasal yang mengatur
larangan dan ketentuan pidana bagi siapa saja yang memiliki unsur pembedaan
atas dasar jenis kelamin tertentu.
Dan masih banyak lagi pasal kontroversial dalam RUU KKG
ini, seperti jelas terlihat bahwa konsep ini sangat bertentangan dengan ajaran
umat beragama. Dan jika kita sepakat bahwa kitab semua kitab suci adalah Karya
Tuhan, berarti tak lama lagi di Indonesia kekuasaan-Nya kian dipertanyakan.
Bahkan pengikut-Nya bisa dipidanakan karena melanggar UU Kesetaraan dan
Keadilan Gender. Itu jika komisi VIII DPR RI nekad mengesahkan RUU KKG.
Keadilan Tuhan seperti yang termaktub dalam
lembaran-lembaran kitab suci dianggap tidak lagi setara untuk laki-laki dan
perempuan, alias bias gender! Apalagi Bab VIII pasal 67 RUU KKG secara tegas
menyebutkan: “setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur
perbedaan, pembatasan, dan/pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu”. Karena
Tuhan tidak termasuk dalam kategori “setiap orang”, maka sebagai gantinya
adalah semua orang yang mengikuti ajaran Tuhan. Maka siapa saja yang melaksanakan
ketentuan Tuhan dalam masalah waris, aqiqah, kesaksian, melarang perempuan
menjadi khatib jum’at, wali nikah, imam sholat bagi kaum laki-laki, dan
melarang nikah beda agama maupun sesama jenis berarti telah melanggar Bab VIII
pasal 67.
UU gender juga menyatakan bahwa kitab bibel tidak adil,
seperti contoh: “aku tdak mengizinkan perempuan mengajar dan tidak
mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiri diam”. (I Timotius
2:12). Begitupun dalam Kitab Suci Al-Quran yang berbunyi: “Allah mensyari’atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang
laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan). Lalu apakah dengan
banyaknya ketidaksesusaian dengan RUU ini, teks-teks kitab suci harus dirombak?
Ataukah DPR RI dan Menneg PP akan mempromotori proyek pembuatan tafsir kitab
suci versi baru yang sehaluan dengan RUU ini? kita tunggu bagaiman akal
kolektif anggota dewan menghadang wahyu Tuhan. Maka seharusnya UU gender ini
tidak harus dibuat, karena melenceng dari perlindungan gender yang hanya
mengutamakan keeksistensian perempuan di ranah publik.
Kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan merupakan dasar ajaran Islam, sebab pada prinsipnya
segala perintah dan larangan Allah (Taklif) ditujukan kepada laki-laki
dan perempuan. Taklif ini bersifat umum dan mutlak, sampai ada nash
khusus lainnya yang mengecualikannya secara jelas. Imam Ibn Rusydi yang hidup
di Cordova (595 H/1198 M) pun dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menjelaskan:
“Laki-laki dan perempuan itu setara, karena pada awalnya hukum keduanya adalah
satu, sampai ditetapkannya pengecualian syar’i yang yang menjelaskan hal
itu”. Ibn Hajar al-‘Asqalani (852 H) juga menjelaskan dalam kitab Fathul
Bari bahwa wanita itu adalah saudara kandung (setara) laki-laki dalam
hukum, kecuali jika ada pengkhususan.
Serasi itu indah meski tidak sama. Sebab keserasian tidak
pernah menuntut kesamaan dan persamaan. Keserasian menggambarkan keharmonisan,
kesepadanan, keselarasan, dan kesesuaian. Keserasian menghasilkan keterpaduan yang
utuh dan hubungan baik yang melahirkan ketentraman lahir batin. Jauh dari
perasaan iri hati dan ambisi untuk merebut apa yang dimiliki orang lain.
Keserasian adalah buah dari keberagaman dan perbedaan. Masing-masing individu
menempatkan dirinya dan berperan sesuai kapasitasnya. Sebaliknya istilah
“kesetaraan gender” sering diekspresikan sebagai bentuk ketidakpuasan untuk
menuntut kesamaan peran dan kedudukan.
0 komentar:
Posting Komentar